Sunday, March 11, 2007

Telur Naga Meredam Semburan

Rangkaian Bola Beton yang Dipakai untuk Menghentikan Semburan Lumpur Lapindo (Yahoo! News/AP Photo/Trisnadi)

Ruang rapat lantai 11 gedung Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Senin pekan lalu. Dua bundel dokumen laporan kajian semburan lumpur Sidoarjo dibahas serius oleh 11 anggota tim pengkaji bersama anggota BPK. Sebundel data dilampirkan melengkapi laporan itu.

Kajian yang dilakukan tim Universitas Brawijaya, Malang, itu meliputi dampak ekonomi dan lingkungan. Laporan pertama tentang dampak semburan lumpur terhadap ekonomi regional setebal 139 halaman. Laporan kedua, setebal 108 halaman, membahas dampak semburan lumpur terhadap lingkungan hidup.

Hadir dalam pertemuan itu Abdullah Zaenie, Wakil Ketua BPK, dan Hasan Bisri. Sementara tim Universitas Brawijaya dipimpin Prof. Moeljadi. Salah satu yang dibahas dalam laporan itu adalah teknik menggunakan bola-bola beton (high density chained ball --HDCB) untuk menanggulangi persoalan lingkungan dari semburan lumpur.

Teknik memasukkan (insersi) bola-bola pejal beton itu merupakan gagasan tim pakar fisika Institut Teknologi Bandung (ITB). Mereka adalah Bagus Nurhadoko, Satriyo, dan Umar Fauzi. "Mereka mengajukan ide untuk mengurangi semburan dengan teori fisika," kata Rudy Novrianto, juru bicara Tim Nasional Penanganan Lumpur Sidoarjo.

Bola itu memiliki kepadatan tinggi atau 2,5 gram per sentimeter kubik. Sedangkan kepadatan lumpur hanya 1,3 gram per sentimeter kubik. Dengan perbandingan densitas yang mencolok ini, bola akan tenggelam sampai ke dasar kawah semburan.

Bola beton dirangkai sedemikian rupa. Satu rangkaian terdiri dari empat bola, dua bola berdiameter 20 sentimeter, dan dua bola lainnya berdiameter 40 sentimeter. Keempatnya dirangkai dengan kawat baja dan dicemplungkan ke pusat semburan yang bergolak.

Cara ini ditempuh setelah cara relief well atau pengeboran dari samping untuk menginjeksikan lumpur berat guna menyumbat semburan dianggap gagal. Relief well direncanakan tiga buah sekaligus. Namun, baru saja relief well 1 mengebor pada kedalaman 1.170 kaki dari rencana 9.000 kaki, tanggul di Desa Siring jebol dan menggenangi area relief well.

Relief well 2 yang tengah disiapkan lahannya juga gagal dilaksanakan karena dibanjiri lumpur. Nasib yang sama terjadi pada relief well 3. Pemerintah pun angkat tangan. Penggunaan relief well dinyatakan gagal.

Maka, satu-satunya jalan untuk menghentikan semburan adalah mengintervensi langsung pusat semburan. Caranya, dengan menenggelamkan bola-bola beton tadi. Sehingga lumpur yang menyembur akan terhambat. Sebab lumpur dianggap menyembur tetap dan akan berkurang ketika dihambat.

Namun cara ini bisa saja gagal. Hal itu disampaikan Satria Bijaksana, anggota tim insersi HDCB. "Data tentang kawah semburan terlalu minim," katanya. Teknik ini akan gagal jika bola-bola itu gagal memasuki pusat kawah. Dan menjadi sia-sia juga jika bola bikinan PT Wijaya Karya itu gagal menyusup ke dasar lubang kawah atau melayang dalam aliran lumpur.

Tapi keraguan bola-bola berbahan campuran bijih besi itu gagal tenggelam tidak terbukti setelah empat rangkaian dijebloskan dalam olakan lumpur. Sudah empat paket "telur naga" dikirim ke perut bumi. "Sampai saat ini belum tahu apa efeknya," kata Rudy. Rangkaian itu hanya pendahuluan dari 364 untai yang akan dijebloskan.

Lewat pantauan detektor yang diikatkan pada rangkaian bola beton, mereka telah menyusup hingga kedalaman 900 meter. Namun upaya menggerojok kawah dengan bola-bola beton terhambat cuaca yang tak bersahabat. Tiupan angin membuat beton bergoyang, dan bentangan kawat baja untuk titian beton ke pusat kawah putus.

Untaian beton seharga Rp 1,6 milyar itu jauh lebih murah jika dibandingkan dengan relief well yang mencaplok biaya Rp 95 milyar per sumur. Jika untaian beton sudah dimasukkan, diharapkan dapat mengurangi semburan lumpur pekat hingga 70%.

Sebab kecenderungan lumpur yang makin pekat akan terhambat ketika melewati bola-bola beton. Alirannya akan melambat hebat. "Lima puluh persen saja sudah sangat bagus," kata Basuki Hadimoeljono, Ketua Pelaksana Timnas. Saat ini, semburan lumpur sekitar 100.000 meter kubik per hari.

Toh, banyak ahli geologi menyangsikan keberhasilan metode itu. Seperti seminar "International Geological Workshop Sidoarjo Mud Volcano" yang digelar Badan Penerapan dan Pengkajian Teknologi (BPPT). Tampil sebagai pembicara Sahid D. Jenie, Kepala BPPT, Achmad Luthfi, Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia, dan pakar geologi dari Universitas Kyoto, Jepang, James J. Mori.

Para pakar berkesimpulan, semburan lumpur Lapindo merupakan yang terbesar yang pernah terjadi di dunia. Dan mereka sependapat, semburan lumpur itu merupakan fenomena alam, sehingga sulit dihentikan dengan teknologi apa pun. "Hingga kini, belum ada teknologi untuk menghentikan semburannya," kata Sahid D. Jenie.

Namun Adi Susilo, pakar geologi dari Jurusan Fisika Universitas Brawijaya, menyatakan tidak ada salahnya teknik itu dicoba. Memang selama ini belum ada cara menghentikan mud flow dengan bola-bola beton. "Teknik ini yang pertama kali di dunia," katanya.

Menurut Adi, teknik itu akan berhasil jika aliran lumpur karena kecepatan konstan. "Artinya, lumpur yang keluar akan terhambat," ujarnya. Tapi, jika semburan itu karena tekanan konstan, lumpur akan mencari jalan lain. Dan itu bisa menyembur di tempat lain. "Jika ini terjadi, pemberian bola-bola beton sebaiknya dihentikan," katanya.

Namun, jika cara itu berhasil meredam semburan lumpur, ini merupakan terobosan baru di dunia. "Dan penemunya layak mendapat Hadiah Nobel," Adi menandaskan.

Rohmat Haryadi dan Mukhlison S. Widodo
[Lingkungan, Gatra edisi 16 Beredar Kamis, 1 Maret 2007]

0 Comments:

 




© 2007 Welcome syawal2007.blogspot.com: Telur Naga Meredam Semburan | Design by Kolom Tutorial | Template by : Template Unik